Indonesia, bersama Kenya, merupakan negara paling korup nomor 6 di dunia dari 133 negara yang masuk dalam index persepsi korupsi yang dirilis Transparansi Internasional. Nilai index persepsi korupsi indonesia adalah 1,9 dari rentang nilai 1-10. Dengan nilai tersebut, Indonesia masuk rangking 122 dari 133 negara yang disurvei.
Sementara, peringkat pertama, dengan nilai persepsi paling bersih korupsi adalah Finlandia, dengan nilai 9,7. Singapura, negara tetanga masuk dalam peringkat kelima, dengan nilai 9,4. Malaysia pun berada jauh di atas Indonesia, bertengger di peringkat ke-37 dengan nilai 5,7.
Demikian rilis yang dikeluarkan oleh Tranparansi Internasional Indonesia (TII), di Jakarta, Selasa (7/10). TII merupakan salah satu cabang dari 87 cabang nasional dari Transparansi Internasional yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Lembaga yang didirikan pada 1993 ini merupakan satu-satunya organisasi nonpemerintah dan nonprofit yang mencurahkan perhatian secara khusus memberantas korupsi.
Hadir dalam acara tersebut Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya Lubis, Anggota Dewan Pengurus Bambang Harymurti, Ketua Dewan Eksekutif TII Erry Riyana Hardjapamekas, dan Sekretaris Umum TII Emmy Hafild.
Dalam rilis tersebut disebutkan, negara-negara yang nilainya lebih buruk dari Indonesia adalah Angola, Azerbaijan, Kamerun, Georgia, Tajikistan, Myanmar, Paraguay, Haiti, Nigeria, dan Bangladesh. Sementara lima negara terbaik adalah Finlandia (9,7), Islandia (9,6), Denmark (9,5), Selandia Baru (9,5), dan Singapura (9,4).
Terkorup di ASEAN
Di antara negara-negara ASEAN, kecuali Myanmar, Indonesia merupakan negara terkorup. Sementara, untuk negara-negara Asia yang disurvei, hanya Bangladesh dan Myanmar yang lebih korup dari Indonesia. Hebatnya lagi, nilai Indonesia lebih rendah dari negara-negara tetanga seperti Papua New Guinea (2,1), Filipina (2,5), dan Vietnam (2,4).
Dalam rilis tersebut juga disebutkan, tiga sektor yang paling rawan terhadap tindak korupsi adalah partai politik, kepolisian, dan pengadilan. Sementara, kecenderungan masyarakat memberikan suap paling banyak terjadi di sektor konstruksi, pertahanan keamanan, migas, perbankan, dan properti.
Menilik nilai dan peringkat Indonesia, terlihat penurunan terus terjadi sejak era reformasi pada 1998. Pada tahun itu, Indonesia berada pada peringkat 80 dari 85 negara dengan nilai 2,00. Tahun 1999, Indonesia berada di urutan ke-96 dari 98 negara dengan nilai 1,7. Masih dengan nilai yang sama, tahun 2000 peringkat Indonesia adalah 85 dari 90 negara.
Selanjutnya, nilai Indonesia naik menjadi 1,9 pada 2001 dan bertahan hingga sekarang. Pada 2001 Indonesia berada pada peringkat 88 dari 91 negara. Pada 2002, Indonesia nangkring di posisi 96 dari 102 negara.
Tidak serius
Sekretaris Umum TII Emmy Hafild mengatakan, menurunnya nilai Indonesia sejak era Reformasi menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir, tidak ada upaya pemberantasan korupsi yang efektif. "Ini merupakan hal yang sangat ironis, mengingat reformasi kita salah satu basisnya adalah pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Ini juga menunjukkan bahwa pemerintahan yang lebih demokratis tidak serius memberantas korupsi," kata dia.
Dia menandaskan, kegagalan elite politik Indonesia melakukan upaya serius memberantas korupsi membahayakan demokrasi. "Rakyat akan menyalahkan demokrasi atas kesulitan yang dihadapinya. Padahal kesulitan tersebut disebabkan oleh korupsi," ujar dia.
Sementara itu, Todung Mulya Lubis mengatakan, salah satu pilar penting bagi pemberantasan korupsi adalah media massa. Media membawa misi menjamin terjadinya sebuah proses berlangsung secara transparan. Namun, kata Todung, nampaknya Indonesia harus kembali berduka mengingat media massa Indonesia akhir-akhir ini terancam.
Dia mencontohkan, kasus kekerasan yang dialami wartawan TEMPO dalam kasus Tommy Winata dan ketidakberdayaan aparat kepolisian mengindikasikan kecemasan yang serius. "Intimidasi lewat kekerasan atau pun dengan melakukan upaya sita jaminan secara mencolok merupakan ancaman serius bagi kebebasan pers terutama dalam pengungkapan kasus korupsi," ucap dia.
Ditambahkan, "Kegagalan menghormati peran media massa dalam memberikan informasi kepada publik dan kegagalan penegakan hukum untuk melindungi kebebasan pers merupakan akibat dari korupsi yang sudah sangat mendalam di bidang penegakan hukum dan jurnalistik yang marak dengan wartawan amplopnya."
Comments
Post a Comment