Finlandia, salah satu negara di kawasan Skandinavia, selalu menjadi contoh menarik dalam hal penegakan hukum. Angka kriminal hampir nol, begitu pula dengan tindak pidana korupsi.
Negara-negara yang hendak menekan angka korupsi suka datang ke negara yang dekat kutub ini untuk studi perbandingan. Para pendatang itu berusaha mengetahui kiat antikorupsi yang dikembangkan Finlandia. Akan tetapi, dalam kenyataannya, sangat sedikit yang mampu seperti Finlandia karena yang diambil dari negara ini adalah undang-undang dan kiatnya, bukan spirit hidup bersih dan kulturnya.
Finlandia, negara seluas 338.145 kilometer persegi (hampir seluas Jerman), berpenduduk 5,2 juta jiwa. Produk utamanya adalah hasil hutan, kerajinan, dan beberapa jenis industri presisi, perangkat otomotif, dan telepon seluler.
Sebagai negara kesejahteraan (welfare state), Finlandia dapat disebut sebagai negeri ”aneh”. Perdagangan berlangsung dalam ritme lamban. Jalan-jalan di kota, sebutlah misalnya di Helsinki (berpenduduk 520.000 jiwa), lengang. Hari Sabtu dan Minggu libur kerja. Pusat perbelanjaan buka antara jam 10.00-11.00 dan tutup antara pukul 19.00 sampai 21.00.
Pada hari Sabtu dan Minggu, suasana kota terasa sangat sepi. Di beberapa bagian kota bahkan seperti kuburan. Hanya beberapa trem yang lalu-lalang mengelilingi kota, tanpa penumpang. Bandara Internasional Helsinki juga sepi. Pukul 21.00 sebagian sudut bandara sudah senyap dan gelap. Sejumlah toko bahkan sudah tutup sejak pukul 19.00. Di pusat kota Helsinki terdapat beberapa kafe dan kelab malam yang baru dibuka sepuluh tahun terakhir. Sebelumnya, Helsinki termasuk ”kuper” dalam hal fasilitas hiburan.
Namun, yang kemudian membuat banyak negara lain terkagum-kagum, di balik sepinya suasana, rileksnya penduduk negara itu bekerja, dan di balik tidak variatifnya sumber daya alam, pendapatan per kapita Finlandia mencapai 28.500 dollar AS, atau salah satu yang terbaik di dunia.
Apa yang menyebabkan negara ini kaya dan bersih? ”Kami tidak suka hidup berlebihan,” kata Hans Markele, usahawan di Helsinki.
Menurut Hans, warga Finlandia terbiasa tidak banyak kebutuhan. Terbiasa dalam semangat hidup sederhana. Punya satu mobil dan dua sepeda, ya sudah cukup. Tidak perlu sampai memiliki 10 mobil sebab yang dipakai cuma satu. Satu mobil pun kerap terasa berlebihan sebab transportasi umum di Helsinki cukup baik. Warga Helsinki terbiasa dalam kultur hidup tidak berlebihan. Sebagian di antara penduduk Finlandia dikenal religius. Rumah-rumah ibadah di sana tetap penuh meski salju turun amat lebat dan suhu mencapai minus 30 derajat Celsius.
Spirit hidup tidak berlebihan, tidak suka banyak kebutuhan, dan tidak menyukai barang bukan miliknya, inilah yang memberi makna pada negara Finlandia. Negeri itu mendekati bersih dari tindak kejahatan. Korupsi nyaris nihil.
Pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Finlandia adalah rakyat yang hidup bersih, korupsi hampir nol, ada supremasi hukum, menjadi faktor amat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Ekonomi tumbuh dengan amat mulus. Semua proses produksi berjalan efisien. Finlandia terkesan tidak perlu mengeluarkan banyak keringat, tetapi negaranya kaya-raya. Rakyat hidup dalam kecukupan.
Apa yang terjadi di Finlandia sejalan dengan apa yang kerap disampaikan oleh tokoh besar hukum ekonomi Indonesia, Prof Dr Charles Himawan (alm).
Teori Himawan, seperti yang kerap ia sampaikan dalam bukunya, Hukum sebagai Panglima, ialah perekonomian baru bisa bagus dan pertumbuhan ekonomi akan mencapai persentase tinggi apabila ada supremasi hukum. Supremasi hukum bisa muncul apabila semua aparat penegak hukum, terutama hakim, menjalankan fungsinya sebaik-baiknya. Hakim menunaikan tugasnya berdasarkan kaidah hukum, kearifan, dan nurani seorang hakim.
Himawan memberi contoh Singapura dan Amerika Serikat. Dua negara itu meraih kegemilangan ekonomi setelah secara konsisten melakukan penegakan hukum. Negara-negara maju Eropa dan Jepang juga meraih prestasi yang sama karena memberi perhatian besar pada aspek hukum.
Supremasi hukum dipastikan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi karena dapat membuang semua kolusi dan nepotisme. Supremasi hukum tidak membolehkan ada praktik penyuapan, uang semir, dan sebagainya. Ini membuat semua kegiatan ekonomi berjalan mulus. Tidak ada yang menjadikan tugasnya untuk tujuan menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain.
Tegaknya hukum akan membuat semua perselisihan diselesaikan menurut aturan yang berlaku. Tidak ada intervensi atau upaya suap dari mana pun. Jika semua perselisihan ekonomi dapat diselesaikan secara baik oleh aparat hukum, maka hukum berwibawa. Semua bisnis dapat berjalan tanpa hambatan. Dan kalau semua bisnis dijalankan dengan amat baik, ekonomi pasti berjalan dalam kecepatan amat tinggi.
Beda pendekatan
Raksasa ekonomi dunia, Republik Rakyat China, termasuk di antara negara maju yang mati-matian melawan tindak kriminal dan korupsi. China-lah satu-satunya negara di dunia yang paling royal menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor. China tidak main tebang pilih seperti Indonesia. Siapa pun yang terbukti bersalah dijatuhi vonis mati.
Semasa Zhu Rongji menjadi Perdana Menteri China, sikap keras terhadap koruptor bahkan lebih hebat. Ia menyatakan, ”Sediakan 1.000 peti mati untuk koruptor kelas kakap. Pakai 999 peti mati, sisanya satu untuk saya. Kalau kelak saya terbukti korup, masukkan saya ke peti itu.”
Zhu serius dengan pernyataannya itu. China menjadi negara yang sangat bengis bagi pencuri uang rakyat. China tidak peduli dengan kritik para pejuang hak asasi manusia bahwa hukuman mati sudah tidak zamannya lagi dan bahkan sangat melanggar peradaban. Akan tetapi, apakah korupsi di sana berhenti? Tidak.
Korupsi tetap subur, dan bersamaan dengan itu aparat hukum tetap dengan pekerjaannya, menjatuhkan hukuman mati terhadap siapa saja, termasuk pejabat teras, yang korupsi dalam jumlah besar. China selalu berpendapat bahwa sikap tegas tersebut pada saatnya akan menjerakan.
Akan tetapi, kalau korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di China masih berlangsung, mengapa perekonomian China dapat melesat demikian cepat? Ini menarik dikaji, tetapi yang jelas, dengan hukum yang belum sepenuhnya mulus saja ekonomi bisa melesat seperti itu, bagaimana kalau penegakan hukum di China sudah sama dengan di Amerika Serikat, misalnya. Ekonomi China bisa terbang.
China, seperti diketahui, bisa sukses di bidang ekonomi karena mempunyai fondasi yang amat kokoh. Kendati sempat hancur pada Revolusi Kebudayaan (1966-1976), China tetap mempunyai sumber daya manusia yang amat kuat. Rakyat China mempunyai kultur bisnis yang sangat mengakar sejak ribuan tahun lalu. Pemerintah China hanya butuh ”menyetel” tubuh rakyatnya, dan semua bakat rakyat langsung bangkit. Rakyat China pun mempunyai kultur dan etos kerja yang amat kuat.
Dunia kemudian tercengang-cengang menyaksikan kebangkitan ekonomi China dalam rentang waktu yang amat cepat. Karena bisa dikatakan mulai dari titik nol pada tahun 1978. Kurang dari sepuluh tahun negara ini sudah menjadi raksasa ekonomi dunia, hanya di bawah Amerika Serikat. Jangan lupa, negara ini mampu memberi makan kepada 1,2 miliar penduduknya.
Soal etos sebagai faktor, diutarakan dengan jelas oleh seorang pembicara. Ia menyatakan, nilai-nilai budaya harus diterjemahkan menjadi etos supaya berfungsi. Diskusi mengenai etos masih tetap berjalan dalam kalangan ilmuwan sosial. Etos adalah perumusan tentang apa yang dianggap paling penting oleh sekelompok orang untuk pekerjaan yang dijalankannya, dan tingkah laku untuk mencapai kepentingan tersebut. Etos pun akan menetapkan segala sesuatu yang tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaan suatu pekerjaan atau profesi.
Etos tidak persis sama dengan etika yang merupakan teori tentang baik dan buruk. Etos lebih menekankan pada apa yang penting dan pantas dilakukan atau tidak pantas dilakukan. Etos yang dimaksud itulah agaknya yang menjadi kultur di China sehingga etos menjadi faktor sangat dominan dalam proses produksi di China.
Mulai dari diri sendiri
Dua contoh tentang besarnya peran hukum dalam bidang ekonomi tersebut, Finlandia dan China, bisa menjadi refleksi bagi bangsa Indonesia. Pelajaran berharga yang bisa dipetik adalah konsistensi sebuah sikap. Hukum bukan menjadi kumpulan pasal peraturan, tetapi dijalankan secara konsisten.
Hukum hanya mengenal warna hitam dan putih, benar dan salah. Tidak ada warna abu-abu dan tidak ada merah atau hijau. Tidak ada setengah benar dan setengah salah. Hukum di sini selalu memandang semua orang sama di depan hukum.
Prinsip ini dipegang teguh sejak dari proses penyelidikan, penyidikan, peradilan, dan penjatuhan hukuman. Para aparat hukum bekerja dengan etos kerja yang jelas. Hakim dalam menjatuhkan putusan dipandang ”mewakili” Tuhan menghukum orang-orang yang bersalah.
Dalam bayangan para penegak hukum dan para perancang undang-undang, Indonesia akan meraih sukses luar biasa kalau hukum ditegakkan. Tegaknya supremasi hukum, seperti dipaparkan pada bagian awal tulisan ini, bukan saja berpengaruh kuat pada ketertiban serta pemerintah yang berwibawa, tetapi juga terutama menjadi penopang kinerja perekonomian negara.
Artinya, kalau hukum tegak, tidak ada uang semir, tidak ada KKN, ekonomi akan berjalan dengan amat baik. Semua perselisihan bisnis, perselisihan kontrak, wanprestasi, serta percekcokan debitor dan kreditor akan selesai melalui koridor institusi hukum. Tidak ada ”ekonomi biaya tinggi” di badan peradilan. Para pihak yang berselisih tidak perlu menyediakan anggaran khusus untuk uang semir bagi jaksa, polisi, panitera, dan hakim.
Para penegak hukum ini pun bisa leluasa menjalankan tugasnya karena mereka tidak perlu silau oleh penyuapan, koncoisme, dan kolusi. Hakim enteng saja menjalankan putusan sesuai dengan hati nurani dan hukum yang berlaku. Polisi atau jaksa enteng menyidik para tersangka dan saksi suatu perkara.
Aspek-aspek ini kelihatan sangat sederhana, tetapi pelaksanaannya sangat sulit. Buktinya, sejak tahun 1945 Indonesia sudah mencanangkan ”dunia peradilan bersih dari uang sogokan”, tetapi ternyata tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Lihatlah, berapa banyak polisi, jaksa, dan hakim yang diadili. Yang diadili pun yang kebetulan ketahuan. Bagi yang tidak ketahuan, ia bisa melenggang dengan uang haramnya.
Dalam pemikiran kritis, persoalan ini hendaknya mulai dibenahi mulai hari ini agar ada target dan sasaran yang sangat jelas. Pada tahun 2010, misalnya, peradilan Indonesia sudah jauh lebih baik. Tahun 2015 bebas dari segala bentuk penyuapan dan ”biaya perkara”. Tahun 2030, supremasi hukum di Indonesia sudah menjadi salah satu yang terbaik di dunia.
Dari mana memulainya? Dari diri sendiri, termasuk dari para pemimpin bangsa. Pemimpin yang tidak korup akan diikuti oleh menterinya, gubernur, wali kota, bupati, camat, lurah, kepala desa, sampai seluruh perangkat negara. Pada saatnya semua orang malu untuk korupsi. Malu untuk merebut uang rakyat, uang yang bukan menjadi haknya.
Faktor pemimpin selalu menjadi aspek menentukan. Kalau pemimpinnya baik, ia selalu menjadi teladan yang hebat. Sebaliknya, kalau pemimpinnya lalim, sebutlah seperti Hitler dan Polpot, negara dan aparatnya akan sangat kejam. Jutaan orang mati percuma.
Kalau seorang pemimpin berani dan visioner, sebutlah seperti Deng Xiaoping, negara akan sangat berprestasi. Bayangkan, ia bisa menemukan sistem yang memadukan sistem komunis dan mekanisme pasar. Ia bisa membawa China yang hancur akibat revolusi kebudayaan menjadi negara pemegang supremasi ekonomi dunia.
Para pemimpin Indonesia pun bisa melakukannya. Kesempatan untuk memberi yang terbaik untuk rakyat masih terbuka lebar. Cobalah.
Comments
Post a Comment